Dunia pendidikan yang seharusnya
menjadi institusi penegak dan pelestari kejujuran justru menumbuhkembangkan ketidakjujuran melalui kecurangan ujian nasional.
Siswa tumbuh di lingkungan tidak jujur karena baik guru, kepala sekolah,
maupun orangtua justru membiarkan atau menutup mata jika terjadi
kecurangan. Padahal, pemerintah sudah mencanangkan pendidikan karakter
sejak pendidikan anak usia dini hingga jenjang pendidikan tinggi.
Hal
itu mengemuka dalam diskusi tentang kecurangan dalam ujian nasional
(UN) seusai pemutaran video dokumenter kolaborasi Temani Aku Bunda,
Senin (8/4), di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Video
dokumenter berdurasi 77 menit itu dibuat selama lebih dari satu tahun.
Film
yang diproduseri Yayasan Kampung Halaman serta disutradarai Tedika Puri
Amanda dan Irma Winda Lubis itu merekam perjalanan Muhammad Abrary
Pulungan (14), siswa yang melaporkan kecurangan UN tahun 2011 di SD
Negeri 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
”Dunia
pendidikan tidak melahirkan asosiasi kejujuran. Orang tidak lagi
mengindahkan kejujuran,” kata Acep Iwan Saidi, dosen Fakultas Seni Rupa
Desain ITB.
Guru mengajarkan
Ahli
kajian budaya dan dosen ITB, Yasraf Amir Piliang, menambahkan,
kecurangan dalam UN adalah ironi karena justru gurulah yang mengajarkan
dan membiarkan siswa melakukan ketidakjujuran. Ia menyebutkan,
nilai-nilai moral masyarakat kini terbalik-balik.
”Oknum guru
yang tidak jujur malah merasa dirinya membantu siswa atau orangtua agar
lulus UN. Sudah tidak jelas mana yang benar dan salah,” kata Yasraf.
Nia
Pontoh, salah seorang dosen penyusun materi pendidikan karakter di ITB,
mengatakan, sulit membuat materi pendidikan karakter di perguruan
tinggi. Apalagi jika siswa yang ingin masuk ke ITB sudah terbiasa hidup
di lingkungan tidak jujur.
Ahli matematika yang juga dosen ITB,
Iwan Pranoto, menegaskan, pihaknya tidak menolak UN, tetapi hanya ingin
mengembangkan fungsi UN sebagai alat evaluasi.
Pola asuh salah
Pada
kesempatan terpisah, Zoemrotin K Susilo menilai ada yang salah pada
pola asuh orangtua terhadap anak karena banyak orangtua yang lebih
mengutamakan pencapaian nilai atau peringkat yang tinggi. Anak juga
sering didorong untuk selalu belajar agar mendapat nilai tinggi.
Padahal, yang penting justru proses pembelajaran atau proses memahami
ilmu pengetahuan.
Psikolog anak Silmi Kamilah Risman berharap
orangtua selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada anak sejak dini
di rumah karena anak sudah mulai mengikuti contoh-contoh yang ada di
masyarakat. Orangtua harus tetap kritis meski harus menentang arus.
”Suara-suara yang kritis itu seperti suara sumbang dalam tim paduan
suara yang kompak,” ujarnya.
Secara terpisah, untuk
menghadapi persiapan UN SMA/MA/ SMK mulai 15 April mendatang, Dinas
Pendidikan Kalimantan Selatan menggandeng PT Pos Indonesia dalam
mendistribusikan soal.
”Soal akan didistribusikan mulai 11 April
karena banyak daerah terpencil di Kalimantan Selatan,” kata Kepala
Dinas Pendidikan Kalimantan Selatan Ngadimun. UN akan diikuti 35.553
siswa SMA atau sederajat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentar ANDA