Meski tak sampai meletupkan perang,
Operasi Trikora telah menunjukkan kemampuan Bung Karno dalam menaklukan
Belanda. Baginya, untuk berdiplomasi dengan Belanda tak cukup lagi
dengan mengerahkan politisi pintar. Tapi, juga harus dengan kekuatan
senjata.
Semboyan “kalah menang itu biasa”, sama sekali tak berlaku bagi dua
negara yang sedang bersitegang memperebutkan wilayah kedaulatan. Rebutan
wilayah yang nyaris berujung bentrok senjata skala besar pernah dialami
Indonesia-Belanda tatkala memperebutkan Irian Barat pada 1962.
Bung Karno, Presiden RI waktu itu, bahkan telah menyiapkan operasi
militer khusus untuk “merangkul” wilayah yang kini kita kenal sebagai
Papua itu. Baginya, Indonesia harus menjadi NKRI yang seutuhnya, bukan
lagi negara serikat yang bisa didikte Pemerintah Belanda.
Agar tidak dipandang sebelah mata, untuk operasi militer yang diberi
nama Trikora ini, Bung Karno menyiapkan banyak persenjataan yang dibeli
dari Uni Soviet. Di antaranya adalah 24 pembom Tu-16 yang amat ditakuti
Barat serta serombongan pesawat tempur MiG-19, dan MiG-17. Posisi Tu-16
amat strategis karena bisa digunakan untuk membom kapal induk Karel
Doorman – senjata utama Belanda yang telah lego jangkar di perairan
Biak.
Perang yang sesungguhnya toh tak meletup. Namun, terlepas dari
jadi-tidaknya perang di antara kedua negara dan pembelian
pesawat-pesawat yang kabarnya bikin difisit keuangan negara itu, Operasi Trikora menjadi kisah kepahlawanan dan legenda tersendiri. Khususnya
bagi negaranegara Asia yang pada masa itu hidup dalam bayang-bayang
dominasi Barat dan Timur.
Semula Belanda sendiri tak tahu detail kekuatan yang tengah
dipersiapkan Indonesia. Di mata Belanda, Indonesia tetaplah Indonesia,
negara kepulauan nan lemah yang pernah mereka jajah selama dua setengah
abad. Dengan masa penjajahan selama itu, mereka yakin bisa mengalahkan
kembali Indonesia, terlebih karena mereka juga pernah “menaklukan”
negeri ini untuk kedua kalinya dalam forum internasional Konferensi Meja
Bundar 1949.
Seruan peringatan justru datang dan Dinas Intelijen AS, CIA.
Diam-diam, mereka terus mengendus persenjataan yang ditimbun Indonesia
setelah tahu ada sebuah tim (dipimpin Jenderal AH Nasution) yang sukses
melobi Pemerintah Uni Soviet. Uni Soviet tak hanya berkenan merilis
pesawat pembom strategisnya, tetapi juga mau menjual kapal perang dan
peralatan tempur darat karena ada pertimbangan politis di belakang semua
ini.
AS menyakini, bahwa Indonesia bisa nekad mengambil jalan perang jika
tak mencapai apa yang diingini di meja perundingan Dan, untuk mengetahui
secara persis tensi ketegangan di wilayah Irian Barat, secara berkala
CIA menerbangkan pesawat mata-mata U-2 Dragon Lady. Mereka terbang bolak-balik Darwin-Filipina.
Dari foto-foto yang didapat, mereka bisa mengekstrapolasi misi yang
mungkin dilakukan AURI. AURI banyak menempatkan pesawatnya di Morotai,
Amahai dan Letfuan. Foto-foto ini sudah menunjukkan keseriusan Indonesia
untuk merebut Irian Barat.
Tidak disembunyikan
Dalam salah satu tulisan di buku ini, yakni August Moon, Rendekzvous Spy Melayu,
yang dikisahkan Capt. Gunardjo, kita pun mendapat gambaran, betapa Bung
Karno akhirnya juga mengetahui penerbangan mata-mata itu. Namun is tak
gusar, karena dari situ Indonesia bisa meraih keuntungan politis.
Senjata untuk diplomasi. yang percuma jika dibeli hanya untuk
disembunyikan.
Benar saja, ketika foto-foto kesiapan pesawat pembom strategis dan
tempur itu disampaikan ke pihak Belanda, mereka berpikir ulang untuk
melawan miliet Indonesia. Terlebih karena untuk itu, AS tak mau
meluluskan permintaan Belanda untuk ikut mendukung perang melawan
Indonesia.
Bagi Washington, mengutip buku Kegagalan CIA yang ditulis Tim Weiner
(2007), stabilitas politik Indonesia jauh lebih penting ketimbang
mengumbar keinginan Belanda yang ngotot ingin mempertahankan Irian
Barat. Tanpa diketahui Belanda, Presiden AS John F. Kennedy dan
penerusnya, Lyndon B. Johnson lebih ingin mempengaruhi Jakarta agar tak
tenggelam dalam pengaruh komunis Soviet.
Dalam bahasa politik tingkat tinggi, seorang penasehat keamanan
Gedung Putih mengatakan, jika negara-negara Asia dlibaratkan kartu
domino yang berdiri berjajar, Washington harus menjaga posisi Indonesia,
Laos dan Thailand tetap dalam barisannya. Jika salah satu saja ambruk,
seluruh kartu domino Asia akan ikut ambruk. Itu artinya, komunis yang
notabene merupakan musuh kapitalisme, akan segera menyebar ke seluruh
Asia Tenggara.
Di Gedung Putih, sebaran komunis di Asia merupakan ancaman serius
karena akan merusak dominasi kapitalisme yang tengah dibangun Amerika.
Belajar dari pengalaman perang di Laos dan Vietnam yang telah
berlangsung sejak 1950-an, mereka lebih suka mencegah daripada
memeranginya. Kepentingan jangka panjang inilah yang akhirnya
mementahkan permintaan Belanda.
Washington tak ingin militer Belanda justru bikin keadaan runyam. Seperti dikatakan pejabat CIA, Richard Helms,
jika komunis memenangkan pengaruh atas Indonesia, kemenangan yang
tengah dikejar militer AS di Vietnam tak akan berarti apa-apa lagi. Atas
pertimbangan strategic itulah, betapa pun sekelompok politisi AS ingin
membantu Belanda melawan Indonesia, Presiden AS tetap menempatkan
permintaan Jakarta pada prioritas pertama.
Sikap politik Gedung Putih tersebut disampaikan kepada Bung Karno ketika is menemui Presiden John F. Kennedy di Washington, tak lama setelah pihak Belanda menyampaikan keinginannya kepada pihak yang sama.
Alhasil, sejak Komando Trikora dikumandangkan di alun-alun
Yogyakarta, kita bisa melihat betapa Sang Proklamator telah mampu
melakukan manuver diplomasi yang amat cantik. Baginya memerangi penjajah
tak cukup dengan mengerahkan politisi-politisi pintar, tetapi juga hams
dengan kekuatan senjata. Dan, itu tidak dengan sembarang senjata,
tetapi senjata-senjata yang memang amat ditakuti Barat. Senjata-senjata
yang memiliki daya tangkal. Cara seperti ini pun ternyata masih terns
dipakai banyak negara, hingga sekarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentar ANDA