Sarjana
dapat mengubah dunia.Itu kata Bung Karno di era tahun 1960-an. Benar juga,
setidaknya sarjana mengubah dunianya sendiri, dari bukan siapa-siapa, menjadi
kelas menengah baru. Pendidikan tinggi telah menjadi eskalator bagi keluarga
miskin untuk naik kelas sosial di Indonesia sejak 1970-an. Persaingan
ketat memasuki PTN hari-hari ini, atau kemudian memilih PTS, seolah-olah
menjadi tiket menuju sukses karir dan kehidupan.
Universitas memang harus menghasilkan sarjana. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, sarjana yang bagaimana?. Semua penyelenggaran universitas di dunia pasti akan tersentak saat mendengar pertanyaan itu. Bukan jawaban yang sulit, tetapi karena jawaban yang ada pasti sangat kompleks berdasarkan visi, isi, dan tujuan universitas tersebut.
Sebagai contoh, sebuah universitas mencanangkan dirinya sebagai universitas kelas dunia (world class university), tentu ada sederetan kompetensi yang harus dijabarkan dari sisi kurikulum, dosen, mahasiswa, dan kemudian lulusannya.
Seperti apakah sarjana kelas dunia yang dihasilkannya? Jargon kelas dunia memang mudah diutarakan,dan atraktif untuk menarik calon mahasiswa. Universitas memang memerlukan mahasiswa karena merekalah sumber penerimaan utama darisisi uangkuliah. Sebagian besar, kalau bukan seluruhnya, penerimaan PTN dan PTS bersumber dari mahasiswa. Padahal, kondisi ini sangat tidaksehat.
National University of Singapore (NUS), misalnya, mengandalkan 50% dari donasi lembaga bisnis atau sosial dan dukungan pemerintah. Demikian juga halnya universitas-universitas lainnya seperti University of Malaya, India Institute of Technology, Asia Institute of Management (AIM), Australia National University, dan Victoria University of Wellington NZ. Perguruan tinggi, untuk banyak negara di sekitar kita, menjadi bagian dari konsep pertahanan negara secara utuh.
Keberhasilan mereka menjalani persaingan global ditumpukan ke sebuah mesin pemikir yang disebut universitas. Sehingga, terlepas dari berbagai ketentuan GATS (General Agreement on Tariffs and Services) yang akan segera membebaskan lalu-lintas jasa, termasuk jasa pendidikan tinggi, Negara-negara di sekitar kita sudah menyiapkan generasi mudanya untuk mampu bersaing secara global, atau setidaknya secara regional di wilayah sekitarnya. Indonesia yang memiliki "mesin" ekonomi terbesar di Asia Tenggara, ternyata belum siap dengan pemuda-pemuda terampil dan terdidik untuk mengoperasikannya.
Kita sibuk dengan yang serba dasar: pokoknya sarjana, pokoknya sekolah. Sikap semacam ini membuat Indonesia sangat rentan terhadap masuknya "operator-operator" mesindari negara sekitar yang sama sekali tidak peduli dengan kepentingan nasional kita. Operator asing ini hanya peduli dengan kinerja pribadi dan laba.
Memang, ini akibat dari tidak banyak pendidikan tinggi yang menghasilkan sarjana pemikir yang matang. Mekanisme sistem kredit semester (sks) menjadi semakin teknis,dan mengikis kretifitas dan inovasilintas program studi.Padahal, masalah yang dialami bangsa ini semakinkompleks, perbedaan suku dan bahasa, terpencarnya ribuan pulau, sumber daya alam yang kian menipis, ratusan juta manusia yang butuh pangan, papan, dan sandang, serta masih banyak lagi deretan masalah yang ada di depanmata.
Sarjana yang bagaimana, bisa apa? Pertama dan utama, adalah sarjana yang memiliki kemampuan memimpin dan dipimpin. Sering orang salah menerjemahkan kata "leadership" sebagai kepemimpinan saja. Sarjana yang sudah dilatih "leadership" pasti akan jadi pemimpin.
Padahal, pemimpin yang baik seharusnya memiliki kemampuan dipimpin juga, ada empat aspek: empati, kalkulasi risiko, kerja tim, dan kemampuan memilih orang yang tepat (the right man on the right place). Gaya kepemimpinan apapun, partisipatif, otoritatif, dan delegatif, membutuhkan empat aspek tersebut.
Kedua adalah kemampuan untuk mandiri, berani mengambil risiko, dan siap bertanggung jawab atas keputusannya. Sering kita menemukan kemampuan ini di kalangan pengusaha, sehingga masuk ke dalam kategori kemampuan entrepreneurship. Kata asingini sering diterjemahkan kewirausahaan yang berkesan hanya milik pengusaha swasta.
Padahal, kemampuan entrepreneurship itu dibutuhkan dimanapun, swasta ataupun pemerintah, komersial ataupun non-komersial. Seorang ilmuwan yang lulus dan bekerja di luar negeri belum tentu memiliknya, sebab ada yang hanya menunggu kalau Indonesia dapat menyediakan lab atau program yang bisa memberinya fasilitas secanggih yang dipakainya sekarang.
Ilmuwan yang memiliki kemampuan entrepreneurship akan membuka jalan dan menerobos hambatan agar bangsanya dapat memiliki perangkat yang setara dengan negara maju. Kemampuan inilah yang perlu dikembangkan di era persaingan global saat ini, karena Indonesia berada di posisi yang sangat strategis: sebagai pasar konsumsi yang besar. Kita harus melengkapi posisi ini dengan sebagai pusat produksi yang besar juga.
Kemampuan terakhir tetapi penting untuk melengkapi kemampuan leadership dan entreprenurship adalah ethics atau sering diterjemahkan etika-moral. Seorang sarjana dapat saja memiliki kemampuan leadership dan entrepreneurship yang bagus, tetapi kalau etika-moralnya tidak kuat atau rusak, maka sia-sia semua kemampuannya. Sarjana seperti ini hanya akan memanfaatkan kepiawaiannya untuk dirinya sendiri.
Dia tidak akan memikirkan kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat banyak (the common good). Sarjana semacam ini akan memporak-porandakan sistem di sekitarnya dan cenderung akan membuat sulit kehidupan bangsa dan negara. Dia tidak amanah dan tidak bertanggungjawab apabila mendapatkan kepercayaan. Koruptor dan oportunis berasal dari kelompok ini.
Pendidikan tinggi yang baik akan menghasilkan sarjana dengan tiga kemampuan di atas. Terlepas bidang studinya, apabila seorang sarjana sama-sama menjadi mahasiswa selalu didorong untuk mengasah kemampuan leadership, entrepreneurship, dan ethics, maka dia akan menjadi sarjana yang bermanfaat bagi sekitarnya. Dalam memilih universitas, orangtua dan masyarakat harus menyelediki dengan baik kemampuan apa yang akan diberikan kepada sarjana yang dihasilkannya.
Sumber
Universitas memang harus menghasilkan sarjana. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, sarjana yang bagaimana?. Semua penyelenggaran universitas di dunia pasti akan tersentak saat mendengar pertanyaan itu. Bukan jawaban yang sulit, tetapi karena jawaban yang ada pasti sangat kompleks berdasarkan visi, isi, dan tujuan universitas tersebut.
Sebagai contoh, sebuah universitas mencanangkan dirinya sebagai universitas kelas dunia (world class university), tentu ada sederetan kompetensi yang harus dijabarkan dari sisi kurikulum, dosen, mahasiswa, dan kemudian lulusannya.
Seperti apakah sarjana kelas dunia yang dihasilkannya? Jargon kelas dunia memang mudah diutarakan,dan atraktif untuk menarik calon mahasiswa. Universitas memang memerlukan mahasiswa karena merekalah sumber penerimaan utama darisisi uangkuliah. Sebagian besar, kalau bukan seluruhnya, penerimaan PTN dan PTS bersumber dari mahasiswa. Padahal, kondisi ini sangat tidaksehat.
National University of Singapore (NUS), misalnya, mengandalkan 50% dari donasi lembaga bisnis atau sosial dan dukungan pemerintah. Demikian juga halnya universitas-universitas lainnya seperti University of Malaya, India Institute of Technology, Asia Institute of Management (AIM), Australia National University, dan Victoria University of Wellington NZ. Perguruan tinggi, untuk banyak negara di sekitar kita, menjadi bagian dari konsep pertahanan negara secara utuh.
Keberhasilan mereka menjalani persaingan global ditumpukan ke sebuah mesin pemikir yang disebut universitas. Sehingga, terlepas dari berbagai ketentuan GATS (General Agreement on Tariffs and Services) yang akan segera membebaskan lalu-lintas jasa, termasuk jasa pendidikan tinggi, Negara-negara di sekitar kita sudah menyiapkan generasi mudanya untuk mampu bersaing secara global, atau setidaknya secara regional di wilayah sekitarnya. Indonesia yang memiliki "mesin" ekonomi terbesar di Asia Tenggara, ternyata belum siap dengan pemuda-pemuda terampil dan terdidik untuk mengoperasikannya.
Kita sibuk dengan yang serba dasar: pokoknya sarjana, pokoknya sekolah. Sikap semacam ini membuat Indonesia sangat rentan terhadap masuknya "operator-operator" mesindari negara sekitar yang sama sekali tidak peduli dengan kepentingan nasional kita. Operator asing ini hanya peduli dengan kinerja pribadi dan laba.
Memang, ini akibat dari tidak banyak pendidikan tinggi yang menghasilkan sarjana pemikir yang matang. Mekanisme sistem kredit semester (sks) menjadi semakin teknis,dan mengikis kretifitas dan inovasilintas program studi.Padahal, masalah yang dialami bangsa ini semakinkompleks, perbedaan suku dan bahasa, terpencarnya ribuan pulau, sumber daya alam yang kian menipis, ratusan juta manusia yang butuh pangan, papan, dan sandang, serta masih banyak lagi deretan masalah yang ada di depanmata.
Sarjana yang bagaimana, bisa apa? Pertama dan utama, adalah sarjana yang memiliki kemampuan memimpin dan dipimpin. Sering orang salah menerjemahkan kata "leadership" sebagai kepemimpinan saja. Sarjana yang sudah dilatih "leadership" pasti akan jadi pemimpin.
Padahal, pemimpin yang baik seharusnya memiliki kemampuan dipimpin juga, ada empat aspek: empati, kalkulasi risiko, kerja tim, dan kemampuan memilih orang yang tepat (the right man on the right place). Gaya kepemimpinan apapun, partisipatif, otoritatif, dan delegatif, membutuhkan empat aspek tersebut.
Kedua adalah kemampuan untuk mandiri, berani mengambil risiko, dan siap bertanggung jawab atas keputusannya. Sering kita menemukan kemampuan ini di kalangan pengusaha, sehingga masuk ke dalam kategori kemampuan entrepreneurship. Kata asingini sering diterjemahkan kewirausahaan yang berkesan hanya milik pengusaha swasta.
Padahal, kemampuan entrepreneurship itu dibutuhkan dimanapun, swasta ataupun pemerintah, komersial ataupun non-komersial. Seorang ilmuwan yang lulus dan bekerja di luar negeri belum tentu memiliknya, sebab ada yang hanya menunggu kalau Indonesia dapat menyediakan lab atau program yang bisa memberinya fasilitas secanggih yang dipakainya sekarang.
Ilmuwan yang memiliki kemampuan entrepreneurship akan membuka jalan dan menerobos hambatan agar bangsanya dapat memiliki perangkat yang setara dengan negara maju. Kemampuan inilah yang perlu dikembangkan di era persaingan global saat ini, karena Indonesia berada di posisi yang sangat strategis: sebagai pasar konsumsi yang besar. Kita harus melengkapi posisi ini dengan sebagai pusat produksi yang besar juga.
Kemampuan terakhir tetapi penting untuk melengkapi kemampuan leadership dan entreprenurship adalah ethics atau sering diterjemahkan etika-moral. Seorang sarjana dapat saja memiliki kemampuan leadership dan entrepreneurship yang bagus, tetapi kalau etika-moralnya tidak kuat atau rusak, maka sia-sia semua kemampuannya. Sarjana seperti ini hanya akan memanfaatkan kepiawaiannya untuk dirinya sendiri.
Dia tidak akan memikirkan kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat banyak (the common good). Sarjana semacam ini akan memporak-porandakan sistem di sekitarnya dan cenderung akan membuat sulit kehidupan bangsa dan negara. Dia tidak amanah dan tidak bertanggungjawab apabila mendapatkan kepercayaan. Koruptor dan oportunis berasal dari kelompok ini.
Pendidikan tinggi yang baik akan menghasilkan sarjana dengan tiga kemampuan di atas. Terlepas bidang studinya, apabila seorang sarjana sama-sama menjadi mahasiswa selalu didorong untuk mengasah kemampuan leadership, entrepreneurship, dan ethics, maka dia akan menjadi sarjana yang bermanfaat bagi sekitarnya. Dalam memilih universitas, orangtua dan masyarakat harus menyelediki dengan baik kemampuan apa yang akan diberikan kepada sarjana yang dihasilkannya.
Sumber
sangat setuju sekali
BalasHapusthx 4your coming bro