Kiamat
21 Desember 2012 bukanlah isu pertama soal tibanya hari akhir. Datangnya kiamat
telah menjadi pertanyaan besar sepanjang peradaban manusia. Meski teks agama
menegaskan tak seorang pun yang mengetahui, manusia terobsesi mencarinya. Ini
wujud ketakutan manusia akan datangnya kematian.
Setidaknya, isu kiamat pernah muncul pada 9 September 1999 (9-9-99) saat
kondisi politik dan ekonomi Indonesia
kacau. Isu juga muncul saat perayaan 1 Januari 2000 dengan ancaman kegagalan
sistem komputer global. Beberapa sekte keagamaan di Indonesia pernah berusaha melakukan
bunuh diri massal demi menyongsong kiamat.
Guru Besar Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Bambang
Sugiharto, Kamis (13/12/2012), mengatakan, isu kiamat selalu muncul ketika
manusia menghadapi banyak kejadian di luar kendalinya. Keterpurukan ekonomi,
ketidakpastian politik, kegagalan akulturasi budaya, hingga adanya prediksi
bencana katastropik walau belum tentu benar.
Saat manusia menghadapi hal baru yang tak bisa dipahami dan tak ada presedennya,
isu kiamat muncul. Hadirnya perspektif baru sains, teknologi, media, hingga
cara berkomunikasi membuat semua menjadi transparan. Menimbulkan keterkejutan
sekaligus kekhawatiran.
Kondisi itu diperparah oleh ketidakmampuan pilar-pilar keyakinan atau sistem
nilai untuk memahami gejala yang ada. Sejak Perang Dunia I dan II, skeptisme
masyarakat muncul dan menimbulkan ketidakpercayaan pada peradaban modern.
Interaksi global yang meluluhlantakkan nilai-nilai tradisional membuat batas
kebaikan dan keburukan kian tipis.
”Ketidakpastian muncul hingga kini dan menimbulkan kepanikan,” katanya. Gejala
kepanikan itu, antara lain, munculnya fanatisme berlebihan atas agama, etnik,
atau kelompok.
Dosen Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada, Helly P Soetjipto, mengatakan,
isu kiamat 2012 merupakan bagian dari manajemen teror, menakut-nakuti orang
dengan kematian.
Isu ini hanya efektif untuk orang-orang di negara maju yang telah lama
menikmati kesejahteraan dan orang-orang di Indonesia yang ekonominya mapan dan
bisa menikmati hidup. Akan tetapi, isu kiamat akan gagal bagi orang pinggiran
yang akrab dengan penderitaan.
”Di Indonesia, banyak orang berani mati, tetapi takut hidup,” katanya. Mereka
yang terbiasa susah paling mudah beradaptasi saat bencana tiba. Sebaliknya yang
terbiasa hidup enak, kesusahan adalah kiamat.
Helly menyatakan, kematian adalah misteri hidup yang pasti datang. Sayangnya,
persiapan menghadapi kematian dilakukan lebih banyak dengan menumpuk materi.
Cinta dunia membuat orang takut mati.
Persiapan menghadapi kematian juga terkait dengan pandangan manusia tentang
mati, apakah sebagai terminal (akhir dari siklus hidup) atau hanya gerbang
menuju ”hidup” baru.
Neurosains
Rasa cemas, khawatir, dan takut, termasuk takut atas mati, ada dalam setiap
manusia. Rasa itu diatur dalam sistem limbik dalam otak bagian tengah yang
mengatur hal-hal terkait emosi.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia
yang juga dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak,
mengatakan, sistem limbik ada pada semua primata, termasuk manusia. Sistem ini
tidak hilang meskipun otak manusia berevolusi dari manusia primitif hingga
modern.
Untuk menjelaskan ketakutan yang tak bisa dijelaskan dalam dirinya, manusia
mencari kekuatan di luar dirinya yang bersifat transendental. Hal itu membuat
mereka tenang dan pusat kesenangan dalam otaknya tersentuh. Kesenangan
merupakan fondasi rasa bahagia.
Sebelum ada agama, sesuatu yang transendental dicari pada benda-benda yang
dianggap memiliki kekuatan, seperti pohon atau batu. Saat itu, kiamat belum
dikenal. Sumber kesedihan adalah kematian dan bencana.
Setelah agama hadir, agama jadi pegangan. ”Dari agama, manusia memahami kematian
dan mengenal istilah kiamat,” kata Taufiq yang menjadi pendiri Center for
Neuroscience Health and Spirituality Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Rasa takut itu bisa dinetralkan. Selain memiliki sistem limbik, manusia
mempunyai sistem korteks di bagian depan otak manusia. Sistem korteks terkait
dengan nalar dan logika.
Meskipun mendapat penjelasan tentang kematian dari agama, sistem korteks
membantu merasionalkan rasa takut. Sistem korteks harus menjadi bagian utama
saat menganalisis ketakutan. Jika yang memimpin sistem limbik, rasa takut akan
memancing emosi yang mengharu biru.
Proses pendidikan Indonesia
yang lebih menonjolkan aspek kognitif dan tidak mengembangkan nalar membuat
proses berpikir rasional tidak terbangun.
”Lembaga pendidikan, keagamaan, pengembangan sains, dan pemerintah memiliki
tanggung jawab yang sama dalam membangun masyarakat cerdas dan kritis hingga
mampu menyaring semua informasi yang ada,” kata Guru Besar Psikologi Sosial UGM
Fatur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentar ANDA